Baru-baru ini beredar cuplikan video yang berisikan suasana ruang kelas dimana beberapa siswi terlihat menggendong balita. Video tersebut pun ramai dengan komentar warganet, salah satunya ada yang berpendapat bahwa sekolah tersebut patut diapresiasi karena mengizinkan para ibu-ibu muda di dalam video untuk tetap meneruskan pendidikan meskipun terdapat indikasi adanya KTD (Kehamilan Tak Direncanakan). Namun, seperti konten-konten viral media sosial pada umumnya, tentu saja video tersebut juga menuai pendapat kontra seperti komentar, “Apa gak kasihan teman-temannya? Mau belajar malah terganggu sama adanya bayi di kelas.”
Kondisi yang ditampilkan dalam video tersebut hanyalah puncak dari gunung es kasus KTD, yang berarti masih banyak keadaan serupa serta berlapisnya permasalahan ini. Statistik BKKBN pada tahun 2021 menunjukkan bahwa dari penduduk berusia 14–19 tahun, terdapat sekitar 19% kasus KTD. Keadaan pun semakin genting sebab angka KTD di Indonesia mengalami kenaikan sekitar 40% di tahun berikutnya.
Dalam kasus KTD khususnya pada remaja di Indonesia, tidak jarang bahkan hampir selalu saja pihak perempuan harus mengorbankan pendidikan karena terpaksa harus menikah, melahirkan, sampai mengurus anak sendiri di usia remaja. Hal tersebut berdampak besar terhadap bertambahnya jumlah pelajar yang putus sekolah sehingga menurunnya kualitas pendidikan generasi muda. Perempuan yang terpaksa berhenti sekolah karena KTD dan pernikahan remaja pun rentan menerima KDRT, terutama yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Sementara itu, akses aborsi aman di Indonesia masih sangat terbatas dan tidak bisa diakses dengan bebas oleh perempuan yang mengalami KTD. Ketika pun mereka mampu mengakses layanan aborsi, seringkali justru layanan aborsi yang diakses adalah layanan aborsi tidak aman yang justru membahayakan kesehatan mereka sendiri.
Lantas, bagaimana menyikapi kondisi dimana ibu-ibu berusia remaja yang menghadiri sekolah sambil mengasuh anak?
Pendidikan yang layak seharusnya menjadi hak dasar setiap manusia tanpa memandang status, namun anak juga memiliki hak untuk dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan yang layak dan sekolah tingkat menengah ke atas tentu bukan lingkungan yang ramah bagi tumbuh kembang anak. Anak yang masih belum bisa berkomunikasi dengan baik dan butuh ruang untuk pergerakan aktif berpotensi mengganggu kenyamanan di lingkungan sekolah. Selain itu, fasilitas sekolah pun tidak diciptakan untuk menunjang aktivitas ibu dan anak dengan kondusif. Salah satunya adalah nursery room untuk menyusui dan mengganti popok. Memang kegiatan tersebut dapat dilakukan di ruang UKS (Unit Kesehatan Siswa), tetapi masih banyak sekali sekolah yang ruang UKS-nya saja kurang memadai bagi siswa mereka sendiri, sementara ibu menyusui memerlukan area yang dapat memberi privasi dan kenyamanan.
Keberadaan nursery room ruang publik seperti sekolah tentu membawa banyak manfaat bukan saya bagi siswa yang memiliki anak, namun juga bagi warga sekolah lainnya. Misalnya saja, guru atau tenaga pendidik yang bekerja di sekolah, petugas kantin yang memiliki anak kecil, hingga tamu yang datang ke sekolah dan mungkin membawa anaknya.
Memang tidak seharusnya perempuan kehilangan hak untuk bersekolah karena KTD, namun bukan berarti sekolah sambil mengasuh anak di kelas harus dinormalisasi sebab para siswa lain pun berhak untuk belajar dengan lingkungan yang kondusif. Tetapi, ada satu pertanyaan lagi:
Apakah para ibu berusia remaja ini punya pilihan?
Faktanya, tidak. Mayoritas remaja perempuan yang mengalami KTD berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dimana mereka tidak dibekali dengan pendidikan kesehatan reproduksi (KESPRO) yang komprehensif sejak dini serta lingkungan yang masih kental akan sistem patriarki. Pun jika para remaja ini memiliki akses terhadap pendidikan KESPRO, apakah mereka mampu untuk mengakses alat kontrasepsi, berikut membentengi diri agar tidak melakukan perilaku seksual berisiko?
Jika nasi sudah kadung menjadi bubur, setelah melahirkan anak pun lantas harus kemana menitipkan anak jika tidak memiliki dukungan finansial maupun lingkungan untuk mempekerjakan pengasuh atau menjadi ibu penuh waktu? Mengasuh anak sambil bersekolah adalah pilihan terakhir yang mau tidak mau harus diambil. Video viral yang disebutkan di awal, seharusnya menjadi teguran lagi bagi negara dan masyarakat akan pentingnya kampanye pencegahan KTD yang dapat diakses serta diterima seluruh kalangan, serta pengingat lagi terhadap rendahnya kesejahteraan hidup rakyat.
Pada akhirnya, permasalahan ini multifaktor dan sistemik yang akarnya adalah kelalaian negara dan masyarakat dalam melindungi perempuan, memberantas kemiskinan, serta menjalankan pendidikan KESPRO.