Feminism in Ba(r)bie Language: Refleksi Feminisme dan Maskulinitas dalam Film ‘Barbie’ karya Greta Gerwig

Aisya
3 min readAug 13, 2023

--

She’s everything. He’s just Ken.

Dalam film adaptasi yang disutradarai oleh Greta Gerwig ini, Stereotypical Barbie (diperankan oleh Margot Robbie) dan Ken (diperankan oleh Ryan Gosling) menjelajahi dunia nyata (The Real World) setelah Barbie yang tadinya selalu tampil paripurna dan bahagia secara tiba-tiba memiliki selulit dan berpikir tentang kematian.

Perjalanan tersebut kemudian membuat Barbie sadar bahwa di kehidupan nyata, perempuan tidak selalu bahagia dan berdaya seperti di Barbie Land.

Di Barbie Land, para Barbie menjabat sebagai Presiden, Dokter, Pemenang Nobel, Ilmuwan, bahkan Astronot — Barbie adalah segalanya. Setiap hari, para Barbie bersantai dan berpesta. Namun, di dunia nyata, Barbie menjadi sasaran catcall, diperlakukan sebagai objek, dan mendapat hinaan dari laki-laki dan perempuan karena penampilannya.

Tema feminisme bukanlah hal baru dalam film-film karya Greta Gerwig. Sebelum Barbie, karya-karya sebelumnya juga sudah menghadirkan karakter perempuan kompleks dengan sentuhan visual yang memesona. Gerwig berhasil mengangkat isu hubungan ibu-anak perempuan yang kompleks dalam “Lady Bird” (2017) serta menggambarkan dinamika empat bersaudari dengan karakter mereka yang unik dalam “Little Women” (2019).

“Barbie” (2023) pun menjadi salah satu film paling sukses secara komersial dalam filmografi Gerwig dengan pendapatan mencapai 1 miliar dolar. Namun, seperti layaknya Barbie yang menemukan bahwa The Real World tidak selalu seindah Barbie Land, demikian pula film ini yang walaupun menghasilkan kesuksesan, tidak selalu diterima dengan baik di tengah krisis pemahaman akan pandangan feminisme.

Banyak pria yang melihat “Barbie” sebagai “Fantasi Feminis yang Menindas Laki-Laki” karena para karakter Barbie tampak mengabaikan keberadaan para Ken di Barbie Land.

Padahal, perlu dicatat bahwa di Barbie Land, para Ken tidak digambarkan sebagai objek seksual seperti halnya tokoh perempuan dalam film-film yang disutradarai oleh laki-laki. Dalam film ini, Ken (yang diperankan oleh Ryan Gosling) juga mengalami konflik internal karena ia merasa tak berdaya dibandingkan Barbie yang merupakan segalanya, sementara ia hanya “Ken”. Pada akhir film, Ken berhasil menemukan keyakinan bahwa ia tidak perlu bergantung pada pandangan patriarki untuk merasa hebat dan percaya diri. Perjalanan Ken merupakan cara Gerwig menggambarkan isu kerapuhan maskulinitas di bawah pengaruh patriarki.

Penilaian “Barbie” sebagai film feminis radikal anti laki-laki mungkin tidak sepenuhnya akurat. Sebaliknya, film ini bertujuan untuk menghidupkan kembali kesadaran masyarakat mengenai tantangan sosial yang dihadapi oleh perempuan (dan laki-laki) sehari-hari dalam pandangan patriarki, dengan menggunakan bingkai berwarna merah muda dan lelucon-lelucon jenaka.

Bagi penonton perempuan, “Barbie” menjadi pengingat bahwa menjadi perempuan feminin tidak mengurangi daya kuasa kita sebagai manusia. Merawat diri, menikmati hal-hal indah, dan bersenang-senang bersama teman perempuan adalah tindakan-tindakan yang memiliki kekuatan tersendiri.

Sementara bagi penonton laki-laki, “Barbie” diharapkan dapat menjadi pengenalan awal tentang feminisme dengan pendekatan yang lembut, sambil membahas isu-isu seperti misogini, seksisme, objektifikasi perempuan, hingga kerapuhan maskulinitas di bawah pengaruh patriarki.

Dalam perjalanan Barbie dan Ken, kita diajak merenung tentang kompleksitas peran gender dan harapan yang tersemat pada perempuan dalam dunia nyata yang penuh tantangan. Dengan gaya khasnya yang menghadirkan karakter-karakter yang kuat dan narasi yang personal, Greta Gerwig sekali lagi membuktikan diri sebagai sutradara yang mahir dalam menggambarkan kerumitan manusia. Gerwig berhasil membawa penonton dalam perjalanan yang menggugah kesadaran mengenai isu-isu sosial yang relevan, termasuk feminisme, maskulinitas, dan tuntutan sosial terhadap citra diri.

“Barbie” bukan hanya sekadar film tentang boneka dengan pakaian-pakaian cantik, tetapi juga sebuah refleksi tentang realitas sosial yang dihadapi oleh perempuan dan laki-laki, serta panggilan untuk merangkul kesetaraan dan penghargaan terhadap keberagaman.

Film ini menggambarkan bahwa dunia yang lebih baik mungkin hanya dapat dicapai ketika kita bersama-sama menerima perbedaan dan mengatasi batasan-batasan yang telah lama kita anut. Dalam semua keindahan dan konfliknya, “Barbie” mempromosikan pesan yang kuat: semua individu memiliki potensi dan nilai yang unik, terlepas dari gender atau peran yang mereka mainkan dalam masyarakat.

--

--

Aisya
Aisya

Written by Aisya

Not exactly a wordsmith but I just like to talk about things that I care, mostly feminism and self development.

No responses yet